Minggu, 28 Februari 2016

Penerapan sistem pengendalian macam-macam bahan kimia berbahaya dan beracun limbah B3 berdasarkan peraturan dan undang-undang

Limbah industri telah menjadi bagian yang terpisahkan dari aktivitas pembangunan. Pada mulanya, limbah industri hanya dianggap sebagai produk sampingan dari proses penggunaan sumberdaya alam, yang kemudian dibuang kembali ke alam.

Namun karena daya dukung alam semakin berkurang, pembuangan limbah kemudian menjadi masalah. Tidak saja kualitas lingkungan yang menurun drastis tetapi juga dampak terhadap manusia dan makhluk hidup lainnya menjadi semakin nyata. Sebagai contoh, ancaman limbah industri terhadap kesehatan manusia telah menyebabkan masyarakat enggan berdekatan dengan lokasi pengolahan limbah.
Kasus penolakan masyarakat di Cerme Kabupaten Gresik terhadap rencana pendirian instalasi pengolahan limbah B3, misalnya, telah menjadi suatu contoh yang baik betapa di satu pihak masyarakat menghendaki kualitas lingkungan yang sehat, namun di lain pihak tidak mau berkompromi apabila lokasi tempat tinggalnya berdekatan dengan lahan pengolahan limbah. Hal ini dalam bidang pengelolaan limbah sering dikenal sebagai NIMBY (Not In My Backyard) Syndrome.

Dengan adanya kecenderungan sikap kontradiktif dari masyarakat ini, perlu direnungkan kembali bagaimanakah pola pengelolaan limbah industri yang tepat agar dapat menjadi solusi terbaik bagi semua pihak yang terlibat. Karena itu materi yang akan dibahas dalam buku ini berkaitan dengan penawaran konsep-konsep yang dapat digunakan sebagai salah satu bahan pertimbangan dalam mengatasi masalah limbah industri, khususnya di tanah air.

Peraturan yang berkaitan dengan pengelolaan limbah industri

Di Indonesia sendiri, peraturan yang berkaitan dengan pengelolaan limbah industri telah dituangkan dalam UU 23/1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup yang diundangkan sebagai pengganti UU No. 4/1992.
Secara spesifik hal ini ditindaklanjuti dalam Peraturan Pemerintah, PP 19/1994 tentang Pengelolaan Limbah Berbahaya dan Beracun dan PP 12/1995 tentang Perubahan Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 1994 Tentang Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun dan diperbarui dengan dikeluarkannya PP 18/1999 Tentang Pengelolaan Limbah Bahan.

Hal-hal yang diatur dalam PP 19/1994 yang kemudian disempurnakan dalam PP 12/1995 diantaranya adalah:
1. Kewajiban bagi setiap penghasil limbah B3 (atau badan usaha yang mendapat ijin Bapedal) untuk mengolah limbahnya.
2. Kewajiban bagi badan usaha pengelola limbah B3 yang melakukan pengumpulan, pengolahan, penimbunan, pemanfaatan dan usaha pengangkutan limbah B3
3. Ketentuan mengenai pengawas dan pelaksanaan pengawasan pengelolaan limbah B3.
4. Ketentuan teknis administratif dalam kegiatan pengelolaan limbah B3, termasuk sanksi-sanksi pelanggarannya.

Semua ketentuan yang berhubungan dengan para pelaku pengelolaan limbah B3, baik itu penghasil, pengumpul, pengangkut, maupun pengolah/penimbun telah diperinci secara jelas, dan hal-hal teknisnya diterjemahkan dalam Keputusan Kepala Bapedal yang mencakup seluruh aspek yang berhubungan dengan pengelolaan limbah dari mulai sumber sampai pembuangan akhir (from cradle to grave).

2. Permasalahan yang timbul dalam pengelolaan limbah industri:

Pertama, seperti telah disinggung diatas, adanya sikap masyarakat yang kontradiktif dalam menyikapi permasalahan pembuangan limbah B3. Dari kenyataan yang ada, sikap yang sama juga diperlihatkan
masyarakat terhadap pembuangan limbah domestik yang relatif tidak berbahaya. Ditambahkan lagi, sampai saat ini tidak ada satupun database yang dipunyai untuk mengetahui aliran dan deposit limbah
industri dalam suatu kawasan, apakah itu perkotaan ataupun permukiman. Dari aktivitas perdagangan dan industri yang dilakukan di kota, kota Surabaya misalnya, belum ada studi yang dilakukan untuk
mengetahui berapa tonase kadar logam berat yang terdeposit di tanah per tahunnya, berapa banyak logam berat yang ikut terbawa aliran sungai ataupun berapa yang terdeposit sebagai sedimen dalam badan air lainnya. Bahkan untuk aspek yang sederhana sekalipun, seperti berapa prosentase beban limbah yang termasuk dalam kategori B3 dan non B3 yang dihasilkan oleh kota Surabaya, tidak ada yang tahu.

Kedua, seharusnya adanya ketentuan teknis dalam pengelolaan limbah industri di atas akan menciptakan peluang bagi para pengusaha untuk menciptakan bidang usaha yang baru dan bagi praktisi/ilmuwan untuk menciptakan teknologi baru, namun mengapa hal ini tidak menjadi
kenyataan?

Ketiga, berhubungan dengan sikap pengusaha yang sampai saat ini berpendapat bahwa mengelola limbah hanya merupakan beban semata, extra-costs yang dapat menyebabkan hilangnya daya saing.
Perusahaan yang akan menerapkan program pengelolaan limbah sering menghadapi banyak kendala yang umumnya berhubungan dengan sikap atau pandangan negatif para personel misalnya, bahwa tindakan ini hanya akan meninggikan biaya, hal ini bisa menurunkan kualitas produk, dampaknya tidak akan dialami orang-perorang secara pribadi, dan sebagainya.

Keempat, walaupun dalam UU maupun peraturan yang ada, semua aspek yang berhubungan dengan pengelolaan limbah industri/B3 telah dibahas secara rinci, namun dalam pelaksanaannya masih terasa
kurang efektif. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh sikap pemerintah pusat yang overprotective. Artinya Menteri/Kepala Bapedal masih berperan besar dalam menentukan boleh tidaknya atau layak/tidaknya suatu perusahaan mengolah/membuang limbah B3 sendiri. Adanya ketentuan seperti ini menyebabkan pejabat pengawas di daerah menjadi kurang berperan dan sama sekali tidak efektif dalam mengawasi/mengendalikan masalah pencemaran limbah B3 yang terus berlangsung sejalan dengan adanya aktivitas industrinya. Apalagi, unit  pengolahan limbah B3 yang diakui pemerintah setidaknya baru satu, yaitu WMI di Cileungsi, Bogor. Hal ini, selain menyulitkan para pengusaha penghasil limbah B3, juga akan meningkatkan biaya pembuangan, terutama bagi mereka yang berada pada lokasi yang berjauhan. Kondisi seperti ini akan menciptakan peluang bagi pengusaha tersebut untuk secara sembunyi-sembunyi melakukan pembuangan secara illegal sebagian dari limbah B3 ke lingkungan terdekat, yang pada akhirnya mengakibatkan kerugian bagi masyarakat secara umum.

Kajian teknis pengelolaan limbah industri
Berdasarkan pada permasalahan yang ada, perlu dilakukan kembali kajian teknis terhadap pengelolaan limbah industri untuk mengetahui hal-hal apa saja yang dapat dilakukan untuk penyempurnaan pelaksanaan di Indonesia. Menurut Wentz (1995), pengelolaan limbah
industri meliputi aspek-aspek yang berhubungan dengan:
a). Eliminasi atau reduksi limbah
b). Recycling/reuse limbah
c). Pengolahan/destruksi limbah
d). Pembuangan limbah.

Aspek pertama adalah eliminasi atau reduksi (atau dikenal juga sebagai minimisasi) limbah sebenarnya merupakan konsep yang relatif “baru”, karena dikembangkan setelah pengelolaan limbah industri mengalami penyempurnaan beberapa kali. Pada awal tahun 1970-an, pengelolaan limbah industri ditekankan pada aspek pengolahan sehingga teknologi unggulan untuk mengolah limbah industri berkembang pesat saat itu. Konsep ini menekankan pada penanganan limbah pada bagian hilir proses produksi sehingga dikenal sebagai the end-pipe technology. Namun pada tahun 1980-an, sejalan dengan meningkatnya kesadaran masyarakat luas dan kalangan industri bahwa mengolah limbah – apapun jenis teknologi pengolahan yang digunakan – memerlukan biaya yang besar, maka dilakukan revolusi terhadap konsep pengelolaan limbah industri yang kemudian lebih menekankan pada prinsip minimisasi limbah (yang awalnya secara ambisius) dideklarasikan sebagai “zero pollution growth”. 

Zero pollution menggunakan pendekatan yang mengupayakan pengurangan polutan dari limbah agar limbah yang dibuang tidak menimbulkan dampak pencemaran.

Metoda yang digunakan ada 3 :
- Recovery, Recycle, Reuse dan Reduce didalam perusahaan sendiri sehingga dapat meminimisasi limbah, biasanya mencapai (15 – 75) %
- Melakukan recovery yang kemudian dibawa atau dijual ke perusahaan lain diluar lokasi pabrik, misalnya pemanfaatan limbah lemak industri penyamakan kulit oleh perusahaan pembuatan sabun.
- Menciptakan zonasi industri penghasil dan pemakai limbah dalam satu kompleks. Hal ini paling layak dilakukan karena biasanya lebih ekonomis terutama dalam penghematan aspek transportasinya.

Berbeda dengan konsep sebelumnya, prinsip eliminasi/reduksi limbah ini mengutamakan pengelolaan pada bagian hulu proses industri, sehingga penggunaan teknologi pengolahan hanya menjadi alternatif yang paling akhir. Lalu pada awal tahun 1990-an, para ahli menyadari bahwa tidak mungkin menghilangkan limbah sama sekali, sehingga kemudian diperkenalkan konsep minimisasi limbah melalui penggunaan azas 4R seperti yang sebagian dinyatakan di atas yaitu (recycle dan reuse) ditambah dengan istilah recovery, dan reduce.

Recycle adalah proses mendaur ulang air bekas proses atau bahan baku yang tidak ikut terolah ke dalam aktivitas proses produksi.
Contoh : Pemanfaatan kembali efluen pada pengolahan limbah dengan proses Trickling Filter sebagai pengencer, atau pemanfaatan kembali pulp serat pendek yang untuk proses pembuatan kertas dengan kualitas kelas dua, pada sebuah proses produksi pembuatan kertas berkualitas tinggi..

Reused adalah proses mendaur ulang bahan baku yang sudah dipakai untuk keperluan lain yang bermanfaat tanpa merubah keadaan fisik bahan tersebut.
Contoh : pemanfaatan kaleng bekas untuk keperluan pot tanaman, atau botol bekas untuk tempat bumbu dapur, dsb.

Recovery adalah proses daur ulang untuk memperoleh kembali unsur tertentu dari limbah suatu proses produksi. Biasanya unsur tersebut diperoleh dalam bentuk senyawa yang berlainan dengan sebelumnya.
Contoh : Perolehan kembali unsur logam (Cr) dari limbah penyamakan kulit.

Reduce adalah proses pengurangan timbulan limbah sehingga menimbulkan dampak sesedikit mungkin pada lingkungan dengan cara mengganti atau mensubstitusi bahan baku oleh bahan yang ramah lingkungan, misalnya.

Aspek ketiga dalam pengelolaan limbah industri adalah pengolahan atau destruksi limbah. Seperti telah disinggung diatas, pengolahan merupakan konsep awal dari pengelolaan limbah, yang kemudian
menjadi alternatif terakhir dalam penanganan limbah industri. Hal ini, selain karena pertimbangan ekonomis, juga secara filosofis proses pengolahan limbah lebih merupakan proses konversi pencemar dari bentuk satu ke bentuk lainnya daripada proses penghilangan (removal) yang sesungguhnya.
Sehingga pada akhirnya akan menimbulkan masalah baru. Sebagai contoh, pada proses pengolahan limbah secara biologis, pencemar organik dari air limbah akan terkonversi menjadi mikroorganisme yang terakumulasi sebagai lumpur yang kemudian harus diolah lanjutan agar tidak menimbulkan permasalah lingkungan.
Dalam perkembangannya, teknologi pengolahan limbah industri, maupun secara spesifik B3, telah berkembang sedemikian pesatnya sehingga hampir semua aspek pencemar yang ada secara teknis akan mampu diolah secara baik. Tentunya hal ini terlepas dari aspek finansial yang akan mengikuti seberapa tinggi tingkat efisiensi pengolahan yang akan dilakukan.

Aspek ke empat adalah penimbunan/pembuangan, seperti yang diperlihatkan pada Tabel berikut ini terdiri dari beberapa alternatif teknologi. Dari seluruh alternatif yang ada, sistem landfill adalah yang
paling sering digunakan. Biasanya alternatif pemilihan lokasi didasarkan beberapa pertimbangan, dengan pola aliran seperti terlihat pada Gambar. Selama ini masalah yang ada, khususnya dalam
penetapan lokasi pembuangan limbah, kajian tentang potensi lahan baru dilakukan setelah lokasi pembuangan tersebut ditetapkan. Jadi pola pikirnya terbalik.
Disamping itu, walaupun teknologi pembuangan limbah ini secara teknis relatif mudah untuk dilakukan, namun pada kenyataannya sulit dilakukan akibat terbatasnya anggaran yang disediakan.

Dalam peraturan Bepedal, penimbunan limbah industri hanya diperbolehkan pada Landfill kategori III (Landfill teramankan) yang dilengkapi dengan sistem drainase untuk penampungan lindi, fasilitas
pemantauan air tanah, dan membran kedap air. Aturan mengenai rancang bangun, jenis limbah industri dan kadar total bahan pencemar yang akan ditimbun, semuanya dinyatakan dalam Keputusan Kepala Bapedal No. 04/1995. Misalnya persyaratan limbah B3 yang ditimbun adalah adanya kelengkapan data yang berhubungan dengan:
- Finger printing test
- Toxicity Characteristic Leaching Procedure (TCLP)
- Solidifikasi/stabilisasi
- Tidak bersifat mudah meledak, mudah terbakar, reaktif, menyebabkan infeksi, mengandung zat organic > 10%, mengandung PCBs, mengandung dioxin, mengandung radioaktif, berbentuk cair/lumpur. Termasuk juga kewajiban untuk melakukan penimbunan tanah penutup
(post closure).

4. Perkembangan pengelolaan limbah industri 
Perkembangan pengelolaan limbah industri di Indonesia praktis baru dilakukan setelah menginjak tahun 90-an. Padahal di dunia, perkembangan tersebut telah terjadi jauh sebelumnya, yaitu sejak awal
tahun 70-an.
Sebelum tahun 1980, penanganan masalah limbah industri, khususnya limbah B3, sesuai dengan perkembangannya diatasi dengan cara:
a). Pembuangan ke lahan dan penyimpanan (land disposal and storage)
b). Pengolahan (treatment)
c). Pengurangan timbulan limbah (waste reduction)
d). Daur ulang dan perolehan kembali (recycling dan recovery)
e). Pembakaran (incineration)

Sedangkan pada tahun 1980-an, perkembangan pengelolaan limbah oleh industri menjadi berubah dengan kecenderungan penanganan sebagai berikut:
a). Pengolahan air limbah
b). Compoundment
c). Storage
d). Injection well
e). Waste reduction
f). Landfill
g). Incineration
h). Solidification

Kebijakan pemerintah negara-negara maju, terutama di Amerika, menekankan pada pengelolaan dengan urutan prioritas sebagai berikut:
a). Pencegahan polusi
b). Daur ulang dan perolehan kembali (recycling dan recovery)
c). Pengolahan dan pembakaran
d). Pembuangan lahan

Selain itu biaya yang juga harus diperhitungkan dalam kaitan dengan konsep di atas adalah:
a). Penanganan sumber dan penyimpanan sebelum dilakukan
pengolahan
b). Pengangkutan ke unit pengolahan
c). Pengoperasian unit pengolah
d). Penanganan dan penyimpanan residu hasil pengolahan
e). Pengangkutan residu ke tempat pembuangan akhir
f). Pembuangan akhir dan pentaatan terhadap peraturan/perundangan

Dari hati-hati. Adanya permasalahan yang dikemukakan di atas, dapat di atasi dengan langkah-langkah perlunya peningkatan tingkat kesadaran lingkungan masyarakat dan industri dalam menyikapi masalah pencemaran. Hal ini bisa dilakukan melalui jalur pendidikan formal
maupun yang informal. Bagaimanapun hal ini adalah masalah bersama yang memerlukan pemikiran bersama agar diperoleh hasil yang optimum bagi seluruh pihak yang terlibat. Diperlukan keterlibatan para ahli lingkungan dalam proses diseminasi (baik aspek teknis maupun aspek non-teknis, seperti peraturan/regulasi) ini agar tidak terjadi ketimpangan interpretasi, terutama juga bagi para pelaku yang langsung terlibat dalam pengelolaan limbah industri, baik masyarakat, pemerintah
maupun pengusaha.

c. Rangkuman

1. Peraturan yang berkaitan dengan pengelolaan limbah industri.
Peraturan yang berkaitan dengan pengelolaan limbah industri telah dituangkan dalam UU 23/1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup yang diundangkan sebagai pengganti UU No. 4/1992. Secara
spesifik hal ini ditindaklanjuti dalam Peraturan Pemerintah, PP 19/1994 tentang Pengelolaan Limbah Berbahaya dan Beracun dan PP 12/1995 tentang Perubahan Peraturan Pemerintah Nomor 19
Tahun 1994 Tentang Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun dan diperbarui dengan dikeluarkannya PP 18/1999 Tentang Pengelolaan Limbah Bahan.

2. Permasalahan yang timbul dalam pengelolaan limbah industri.
 Adanya sikap masyarakat yang kontradiktif dalam menyikapi permasalahan pembuangan limbah B3.
 Belum ada ketentuan teknis dalam pengelolaan limbah industri di atas akan menciptakan peluang bagi para pengusaha untuk menciptakan bidang usaha yang baru dan bagi praktisi/ilmuwan
untuk menciptakan teknologi baru.
 Sikap pengusaha yang sampai saat ini berpendapat bahwa mengelola limbah hanya merupakan beban semata, extra-costs yang dapat menyebabkan hilangnya daya saing.
 Walaupun dalam UU maupun peraturan yang ada, semua aspek yang berhubungan dengan pengelolaan limbah industri/B3 telah dibahas secara rinci, namun dalam pelaksanaannya masih terasa kurang efektif.

3. Kajian teknis pengelolaan limbah industri
Pengelolaan limbah industri meliputi aspek-aspek yang berhubungan dengan:
a). Eliminasi atau reduksi limbah
b). Recycling/reuse limbah
c). Pengolahan/destruksi limbah
d). Pembuangan limbah.

4. Perkembangan pengelolaan limbah industri 
Kebijakan pemerintah negara-negara maju, menekankan pada pengelolaan dengan urutan prioritas sebagai berikut:
a). Pencegahan polusi
b). Daur ulang dan perolehan kembali (recycling dan recovery)
c). Pengolahan dan pembakaran
d). Pembuangan lahan
e). Perlunya peningkatan tingkat kesadaran lingkungan masyarakat dan industri dalam menyikapi masalah pencemaran



Tidak ada komentar:

Posting Komentar